Peran Ibu Indonesia Dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0

Spread the love
Oleh Ibu Asmara Dewi, Ketua BPKK PKS Jaksel

Di antara tantangan yang dihadapi dunia dan juga Bangsa Indonesia ke depan, salah satunya adalah Revolusi Industri Keempat atau biasa disebut dengan ‘Revolusi Industri 4.0’. Revolusi Industri Keempat ini dibangun di atas Revolusi Industri Ketiga yang sudah dikenal sebagai Revolusi Digital. Frasa Revolusi Industri Keempat pertama kali dimunculkan oleh Profesor Kalus Schwab pada tahun 2016 pada acara World Ecnomic Forum (WEF) di Davos-Klosters, Swiss. Saat itu WEF mengumumkan pembukaan pusat baru untuk Revolusi Industri Keempat di San Fransisco Amerika Serikat yang berfungsi sebagai platform untuk interaksi dan wawasan pengetahuan. Hadirnya Revolusi Industri 4.0 akan berdampak pada perubahan ilmiah dan teknologi yang kemudian dapat mengubah cara hidup, bekerja dan juga berkomunikasi satu sama lain.  Menururt Schwab, bahwa ‘The New Age’ ini akan berbeda dilihat dari kecepatan terobosan teknologi, cakupan yang luas, serta dampak yang luar biasa. Revolusi ini terjadi pada tingkat global dan akan mempengaruhi hampir  semua  Negara, akibatnya Revolusi Industri 4.0 ini akan berdampak sistemik di banyak tempat.

Ketua Bidang Perempuan dan Pemberdayaan Kader (BPKK) PKS Jaksel, Ibu Asmara Dewi menambahkan bahwa, “Teknologi yang akan menopang Revolusi Industri 4.0 merupakan produk sosial yang tentu tidak bebas nilai atau budaya. Tingkat kesesuaian antara nilai dan norma teknologi dengan nilai atau norma yang dianut oleh penduduk akan menentukan pola penggunaan teknologi tersebut.”

Revolusi Industri 4.0 ini akan ditandai dengan munculnya terobosan teknologi di sejumlah bidang, seperti robotika, kecerdasan buatan (artificial intelligence), nano teknologi, komputasi kuantum, bioteknologi, Internet of Things (IoT), percetakan 3D, Virtual Reality (VR), Augmented Reality (AR), dan kendaraan otonom (autonomous vehicles). Klaus Schwab dalam ‘The Fourth Industrial Revolution’ mengatakan bahwa Revolusi Industri 4.0 mempunyai dasar berbeda dari tiga revolusi sebelumnya, terutama kemajuan teknologi sebagai ciri utamanya. Kemajuan teknologi komunikasi memiliki potensi besar untuk terus menghubungkan lebih dari miliaran orang ke jejaring dunia maya.

Sebuah penelitian Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI, pada bidang teknologi, khususnya Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) menyatakan bahwa bahwa teknologi informasi dan komunikasi masih sangat dekat dengan identitas laki-laki sedangkan perempuan sering kali hanya sebagai objek. Sementara kita ketahui bahwa jumlah perempuan Indonesia, porsinya hampir separuh dari total  penduduk Indonesia, dan ini harusnya menjadi potensi pemberdayaan yang sangat positif.

Bukan hanya di Indonesia saja, secara global teknologi internet masih sangat kecil untuk mendukung pemberdayaan perempuan. Maguire (2001) dalam studinya di Academy for Educational Development menyatakan bahwa dari sekitar 30 negara, pengguna internet perempuan di negara-negara berkembang jumlahnya kurang dari 1 persen total populasi. Di Asia hanya 22 persen, di Amerika Latin 38 persen, di Timur Tengah sebanyak 6 persen, dan di Afrika lebih sedikit lagi. Kemudian pengguna internet perempuan tersebut pun didominasi oleh perempuan  perkotaan, berpendidikan tinggi, dan sebagian besar menggunakan komputer dalam pekerjaan rutin kantor mereka. Banyak kendala yang dirasakan oleh kaum perempuan dalam mengakses teknologi informasi, di antaranya tingkat ketrampilan dan pendidikan yang rendah, masalah bahasa, keterbatasan waktu, biaya akses internet, keterbatasan lokasi fasilitas internet, serta keterampilan komputer yang tidak memadai.

Ibu Dewi kembali menjelaskan, “Sejatinya ada dua sisi pemberdayaan yang ada pada diri seorang Ibu dalam menggunakan teknologi internet, pertama pemberdayaan internet oleh dirinya sebagai seorang wanita dan kedua adalah pemberdayaan internet oleh anak-anaknya dalam hal ini dirinya sebagai ibu bagi anak – anaknya.”  Pemberdayaan internet untuk kebutuhan pribadinya bisa mencakup berbagai motif atau kebutuhan atas bermacam informasi yang mungkin berkaitan dengan  pekerjaan, dunia kewanitaan, rumah tangga, yang mungkin mempunyai pertimbangan atau persepsi berbeda dengan kaum suami. Sedangkan pemberdayaan internet oleh anak-anaknya, lebih berkaitan dengan masalah kekhawatiran akan dampak negatif dari teknologi internet yang terus mengintai dan akan mempengaruhi nilai atau moral anak-anaknya.

Ibu dewi berpendapat, “Tidak hanya mendidik anak saat masih kecil saja, peran ibu juga sangat dibutuhkan ketika anak memasuki masa remaja. Sudah selayaknya seorang ibu senantiasa memberikan pendampingan dan pengarahan kepada anak remajanya. Ibu tetap menjadi sosok yang open dan friendly kepada anak remajanya, mendengarkan curhatannya, membantu dan mengarahkannya sehingga mereka tidak jatuh pada aib yang bertentangan dengan nilai agama, masyarakat dan juga negara.” Sangat pentingnya peran ibu dalam mendidik dan menemani anak – anak remajanya memasuki era ‘revolusi industri 4.0’. Ibu adalah orang terdekat bagi anaknya, dengan kasih sayang dan kelembutan sang ibu akan mampu membangkitkan mental anak menjadi pribadi yang kuat, semangat, cerdas, percaya diri dan juga lembut.

Tentang ‘revolusi industri 4.0’ atau ‘internet of things’, Ibu Asmara Dewi mengungkapkan bahwa, “Untuk penguasaan teknologi, kaum ibu juga mesti melek teknologi agar dapat mengawasi tumbuh kembang buah hatinya, selain kaum ibu juga harus menjadi orang alim dalam agama.”

Ibu Dewi menambahkan, “Seorang ibu harus mampu menjalin komunikasi dengan anak secara baik meski singkat dibandingkan bertemu setiap hari tetapi tidak ada komunikasi yang terjalin. Kasih sayang bukan sebatas memfasilitasi semua keinginan anak dengan uang yang melimpah.”

Dalam menyambut datangnya era ‘Revolusi Industri 4.0’ ke depan, Ibu Asmara Dewi mengingatkan bahwa, “Kesabaran dan keuletan ibu akan diuji. Ibu tentu tidak bijak mengisolasi anak di rumah seratus persen, anak – anak juga tentu butuh bersosialisasi, anak – anak butuh belajar dan juga bersikap. Namun ibu – ibu juga tidak boleh melepaskan bebas anak – anaknya begitu saja. Ibu – ibu harus mampu menemani anak – anak dalam memilah mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Dan yang terpenting jangan tinggalkan bingkai dan pondasi keimanan dan ketuhanan dalam proses pendampingan kepada anak.”

Seorang penyair bernama Hafiz Ibrahim (1932 M) mengungkapkan dalam syairnya, “Al-Ummu madrasatul ula, iza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq” artinya ibu adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anak – anaknya. Jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan bangsa yang baik pada pokok pangkalnya.

Ibu adalah madrasah pertama yang memberikan keteladanan bagi sikap, perilaku, nilai, norma dan keprbadian pada anak. Jika seorang ibu itu baik maka baik pula anaknya. Ketika seorang ibu menjalankan kewajiban dan fungsinya dengan baik dalam rumah tangga, bukan tidak mungkin akan hadir anak-anak yang sholeh-sholehah yang kelak menjadi tunas berdirinya masyarakat dan juga penopang bangsa dan negara yang maju dan beradab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *