Al Mansyur : Jangan Terlalu Reaktif Menyambut Pendatang di Kota Jakarta, Gunakan Paradigma Baru

Spread the love

Sudah menjadi tradisi tahunan saat agenda mudik selesai, Jakarta akan kembali dipenuhi oleh pendatang. Itulah sebabnya sering kita dengar Pemprov Jakarta selalu berupaya mensosialisasikan bahwa boleh hidup di Jakarta, tetapi harus punya skill. Ini permasalahan klasik semua kota besar, bukan hanya Jakarta. Hanya saja Jakarta sepertinya masih agak resisten untuk pendatang. Jakarta adalah Ibukota negara yang mana setiap warganya mempunyai hak yang sama untuk menikmati Jakarta.

Al Mansyur Hidayatullah, ketua DPD PKS Jakarta Selatan mengungkapkan bahwa, “Lebaran, hanyalah salah satu momen yang menjadi pemicu migrasi penduduk desa ke kota. Secara umum urbanisasi dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu pertumbuhan penduduk daerah perkotaan, reklasifikasi desa perdesaan menjadi desa perkotaan, dan migrasi dari daerah perdesaan ke perkotaan.”

Karena itu migrasi pasca lebaran, bukan satu-satunya masalah bagi kota-kota besar seperti Jakarta. Pun, masalah urbanisasi lazim terjadi di kota – kota di dunia. Migrasi bisa terjadi kapan saja. “Arus urbanisasi pasca lebaran memang fenomena rutin tahunan. Puluhan ribu pendatang hadir ke Jakarta, belasan persen penambahan jumlah penduduk Jakarta terjadi setelah lebaran,” ungkap Al Mansyur.

Banyak pihak menyalahkan warga yang berurbanisasi ke Jakarta. “Kalau ditinjau dari sisi sosiokultural saja, mungkin iya. Tetapi dari sisi pembangunan ekonomi, pemerintah lah yang sepertinya perlu ditinjau kembali. Seperti misalnya dana desa yang belum secara optimal tergarap untuk menciptakan ketertarikan – ketertarikan di desa – desa,” tegas Al Mansyur.

Urbanisasi, faktor terbesarnya digerakkan oleh faktor keterbatasan sumber daya di desa – desa. Sementara Jakarta terlihat seperti sangat menonjol dibanding daerah – daerah lain. Sedangkan kawasan lain terkesan lebih lemah secara ekonomi. Akibatnya ada permasalahan yang muncul, saat para pendatang ini tidak punya cukup modal dan juga skill untuk bekal mengadu nasib di Jakarta. Mereka akan menjadi penyumbang permasalahan kriminalitas dan penyakit masyarakat lainnya. Mereka yang kalah dalam bersaing, selanjutnya bisa menjadi potensi masalah di Jakarta.

“Namun sepertinya cara pandang kita terhadap urbanisasi ini harus mulai berubah. Kalau dulu urbanisasi dinilai sebagai hal yang menimbulkan masalah dan harus dicegah, saat ini kita harus bisa lebih terbuka. Urbanisasi sebaiknya dilihat sebagai peluang baru dari sebuah mobilisasi yang memberikan dampak positif bagi kemajuan kota,” ujar Al Mansyur.

Dengan cara pandang tersebut, urbanisasi dapat dijadikan sebagai sarana bagi mobilisasi sosial dan ekonomi. “Oleh karena itu, semua stake holder Jakarta harus bersama – sama mencari jalan keluar dan mengambil peran positif agar urbanisasi ini bisa lebih bermakna dan berkualitas,” tambah Al Mansyur.

Al Mansyur juga mengatakan bahwa ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menjadikan urbanisasi sebagai peluang. Pertama yakni menegakkan regulasi tentang rencana tata ruang. Kedua menyiapkan rencana sumber pembiayaan agar sebuah kota bisa membiayai dirinya sendiri. Ketiga, proses perencanaan urbanisasi yang lebih baik.

Pengendalian urbanisasi, tidak bisa dilakukan dengan pelarangan masuk dan upaya menangkal dengan mempersulit perizinan kependudukan saja. Ditinjau dari perspektif hak warga negara, dalam Undang-Undang Dasar telah jelas bahwa setiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak dan tentunya punya hak untuk memilih di mana di negeri ini mereka akan tinggal. “Sepatutnya kebijakan penanganan pendatang diarahkan dengan solusi yang tidak mencederai rasa kebangsaan dengan menolak sesama warga bangsa untuk tinggal di Jakarta,” tegas Al Mansyur.

Sekali lagi Al Mansyur menekankan bahwa resistensi kota terhadap pendatang tidaklah elok dengan menggunakan pendekatan formalistik, kebijakan anti pendatang. Beliau mengatakan, “Keterkaitan kota dan wilayah disekitarnya adalah sebuah hubungan mutualisme, saling melengkapi. Sehingga solusi untuk memperkuat resistensi kota dari pendatang adalah dengan memberdayakan kawasan asal kaum urban. Dengan merealisasikan pemerataan pembangunan ekonomi atau adanya kawasan penyangga yang mampu menjadi penyuplai ekonomi kota, pemberdayaan kawasan desa – desa sekitar. Dengan demikian laju urbanisasi akan semakin kecil dengan ekonomi yang merata.”

Penanganan urbanisasi bisa dimulai dengan membentuk kawasan-kawasan ekonomi yang tidak memusat. “Jika diibaratkan laron maka memperbanyak lampu yang terang adalah solusi agar laron tidak terkonsentrasi pada satu titik lampu. Tugas ini, tentunya bukan tugas Jakarta semata, melainkan juga pemerintah pusat,” tandas Al Mansyur.

Tugas pemerintah dan tim ekonominya lah untuk mengarahkan pembangunan yang seimbang antara kota dan perdesaan. Pemerataan ekonomi antara kota dan desa yang selama bertahun-tahun selalu dikampanyekan nampaknya belum berhasil. Desa masih saja terus tertinggal, sehingga banyak warganya yang datang ke kota.

Urbanisasi sebaiknya tidak hanya dipandang sebagai masalah tetapi justru harus dipandang sebagai peluang. Urbanisasi dapat dijadikan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pusat pertumbuhan ekonomi baru. Al Mansyur menjelasakan bahwa saat ini, masyarakat yang hidup di perkotaan mencapai 54 persen.

Urbanisasi menjadi isu utama pembangunan di seluruh kota di dunia yang disertai dengan transformasi ekonomi, sosial, budaya dan sistem politik. Apakah arus urbanisasi harus dicegah, ataukah justru perlu dicarikan solusinya agar bisa bermanfaat bagi kota yang didatangi. Pertanyaan ini pernah jadi pembahasan dalam Asia Pacific Regional Meeting (APRM) for Habitat III di Jakarta. Pertemuan yang diprakarsai Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) itu, akhirnya melahirkan The Jakarta Declaration for Habitat III. Deklarasi itu diberi judul “Sustainable Urbanization to Accelerate Development” (Urbanisasi Berkelanjutan untuk Mempercepat Pembangunan).

Urbanisasi telah diakui sebagai kendaraan menuju mobilitas sosial dan ekonomi yang lebih baik, melalui peningkatan akses pelayanan publik, pusat inovasi dan penguatan konektivitas dengan lingkungan desa. Masyarakat kota sebagai bagian terkecil masyarakat harus tumbuh menjadi masyarakat yang mandiri. “Kota juga harus menjadi tempat yang layak untuk dipenuhi, aman dan bisa memenuhi kebutuhan masyarakat,” tutup Al Mansyur.(ADM)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *