Al Mansyur : Idul Fitri itu Kesadaran dan Semangat Ketaqwaan Baru

Spread the love


Ramadhan mubarak telah meniggalkan kita. Tampak menggelayut kesedihan yang begitu dalam di wajah para sahabat dan ulama salaf. Sebuah kesedihan yang sungguh tidak pernah dialami sebelumnya.

Bagi para ulama, kepergian Ramadhan menjadi sesuatu yang begitu berat dan menyedihkan. Maka, tidaklah mengherankan bila pada malam-malam terakhir Ramadhan, pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaimi Wasallam, Masjid Nabawi penuh sesak dengan orang-orang yang beri’tikaf. Di sela i’tikaf itu mereka terkadang menangis terisak-isak, karena Ramadhan akan segera berlalu meninggalkan mereka.

Ketika memasuki detik-detik akhir penghujung Ramadhan, air mata mereka menetes. Hati mereka digelayuti kesedihan yang teramat dalam. Betapa tidak? Bulan yang penuh keberkahan dan keridhaan Allah Ta’ala itu akan segera pergi.

Ramdhan bagi mereka yang menjalani shaum dan menghidupkan malam dengan ibadah. Ramadhan merupakan bulan yang Allah Ta’ala bukakan pintu-pintu surga dan  ditutup pintu-pintu neraka serta dibelenggunya setan. Bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya pembebasan dari api neraka.

Para sahabat menangis karena merasa belum banyak mengambil manfaat dari Ramadhan. Mereka sedih karena khawatir amalan-amalan mereka tidak diterima dan dosa-dosa mereka belum dihapuskan. Mereka berduka karena boleh jadi mereka tidak akan bertemu lagi bulan Ramadhan yang akan datang.

Idul Fitri identik dengan hari kemenangan, setelah berpuasa selama satu bulan penuh, umat Islam yang beriman dan menjalani ibadah puasa akan kembali dalam keadaan suci seperti bayi yang baru lahir. Bahagia sudah pasti, sebab perjuangan di bulan Ramadhan terbayar dengan datangnya kemenangan. Idul fitri adalah momen yang amat membahagiakan setelah menjalankan semua ibadah dan amalan di bulan suci Ramadan.

Apapun strata sosialnya, tentunya ada ruang suka cita menyambut hari kemenangan. Bahkan untuk kalangan yang tidak terlalu menikmati ibadah dan amalan Ramadhan sekalipun turut merasakan kebahagian yang sama.

Kegembiran ketika memasuki idul fitri tidak dapat dipungkiri. Mulai dari anak-anak hingga orang tua semua merasakan kegembiraan saat idul fitri. Momentum idul fitri menjadi festival besar umat muslim untuk saling berbagi kebahagiaan. Saat itu segala kebekuan hati dan keangkuhan jiwa menjadi cair menyebabkan seseorang senang menjadi pemaaf dan gemar meminta maaf atas berbagai khilaf dan kesalahan.

Tradisi pulang kampung atau mudik menjadi agenda tahunan yang sangat mengasikan. Ayah, ibu, anak dan sanak keluarga yang tinggal di kota menyambangi keluarga mereka yang tinggal di desa. Mereka ingin berbagi kebahagiaan, meluapkan rindu akan indahnya kebersamaan dengan keluarga. Mereka juga rindu akan suasana desa yang romantis dengan masyarakatnya yang humanis.

Bahagia telah lulus melewati bulan Ramadhan, dengan menjalankan perintah puasa, kemudian bahagia telah berbagi, dengan menunaikan kewajiban zakat fitrah, dan  terakhir bahagia dengan kesempatan berhalal bihalal atau bersilaturrahim, saling memaafkan segala kesalahan menghapus luka yang pernah tergores dan mempererat kembali hubungan persaudaraan.

Idul Fitri juga adalah permulaan hari baru, di mana masyarakat telah mengalami perubahan atau transformasi dalam dirinya. Idul Fitri bukanlah mobil dan pakaian baru tetapi hari di mana tiap individu  tampil dengan kesadaran dan semangat baru. Semangat baru tersebut sejatinya menemani, memotivasi dan mengisi sebelas bulan berikutya.

Berhari raya Idul Fitri itu bukanlah sekadar ditunjukkan melalui baju baru, sarung baru, kopiah baru, dan apa pun serba baru dan mahal. Tetapi, yang jauh lebih penting adalah kualitas ketakwaannya yang harus baru. 

Spirit ketakwaan yang baru akan melahirkan motivasi tinggi, moral yang lebih baik, dan keterlibatan yang lebih aktif. Spirit inilah yang seharusnya jauh lebih tinggi daripada tahun-tahun sebelumnya. (AMH)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *